Translate

Senin, 18 Maret 2013

HAKIKAT MANUSIA DAN PENDIDIKAN



HAKIKAT MANUSIA DAN PENDIDIKAN
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas :
Mata Kuliah             : ILMU PENDIDIKAN
Dosen Pengampu     : M. Hasani, M. Pd


STAIN logo polos
 

Disusun Oleh :
Kelompok 1

Subur Mukti Wibowo
Tarbiyah PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
TAHUN 2013
PENDAHULUAN
            Ilmu pendidikan dibentuk oleh sejumlah cabang ilmu yang terkait satu dengan yang lain membentuk satu kesatuan. Masing-masing cabang ilmu pendidikan dibentuk oleh sebuah teori.
Pendidikan merupakan pilar utama kemajuan sebuah bangsa. Oleh karena itu, pendidikan sangat penting untuk memajukan sebuah bangsa. Sebagai usaha untuk meningkatkan mutu lulusan pendidikan maka setiap pendidik harus mengetahui tentang pendidikan khususnya hakikat manusia dan pendidikan. Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut maka seorang pendidik harus mengetahui tentang ilmu pendidikan.
            Hampir semua orang dikenai pendidikan dan melaksanakan pendidikan. Sebab pendidikan tidak pernah terpisah dengan manusia. Pada akhir pembahasan ini diharapkan tercapai deskripsi tentang hakikat manusia dan pendidikan.

PEMBAHASAN
A.    Hakikat Manusia Dan Pendidikan
Sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan bermaksud membantu  peserta didik untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi kemanusiaannya. Potensi kemanusiaan merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia.
Tugas mendidik hanya mungkin dilakukan dengan benar dan tepat tujuan,  jika pendidik memiliki gambaran yang jelas tentang siapa manusia itu sebenarnya. Pemahaman pendidik terhadap sikap hakikat manusia akan membentuk peta tentang karateristik manusia. Peta ini akan menjadi landasan serta memberi acuan bagi pendidik dalam bersikap, menyusun strategi, metode, dan teknik, serta memilih pendekatan dan orientasi dalam merancang dan melaksanakan komunikasi didalam interaksi edukatif.
Gambaran yang benar dan jelas tentang manusia itu perlu dimiliki oleh pendidik adalah karena adanya pengembangan sains dan teknologi yang pesat. Oleh karena itu, adalah sangat strategis jika pembahasan tentang hakikat manusia ditempatkan pada bagian pertama dari seluruh pengkajian tentang pendidikan.[1]
1.      Pengertian Hakikat Manusia
Hakikat manusia diartikan sebagai ciri-ciri karateristik, yang secara prinsipiil (jadi bukan hanya gradual) membedakan manusia dari hewan. Adanya sifat hakikat tersebut memberikan tempat kedudukan pada manusia sedemikian rupa sehingga derajatnya lebih tinggi daripada hewan. Wujud sifat hakikat manusia dengan maksud menjadi masukan dalam membanahi konsep pendidikan, yaitu:
a)      Kemampuan menyadari diri
b)      Kemampuan bereksistensi
c)      Pemilikan kata hati
d)     Moral
e)      Kemampuan bertanggung jawab
f)       Rasa kebebasan
g)      Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak
h)      Kemampuan menghayati kebahagiaan[2]
2.      Pengertian Hakikat Pendidikan
Pendidikan pada hakikatnya akan mencakup kegiatan mendidik, mengajar, dan melatih. Kegiatan tersebut kita laksanakan sebagai suatu usaha untuk mentransformasikan nilai-nilai. Maka dalam pelaksanaanya, kegiatan tadi harus berjalan secara serempak dan terpadu, berkelanjutan, serta serasi dengan perkembangan anak didik serta lingkungan hidupnya dan berlangsung seumur hidup.[3]
Pekerjaan mendidik mencakup banyak hal, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan perkembangan manusia. Mulai dari perkembangan fisik, kesehatan, keterampilan, pikiran, perasaan, kemauan, sosial, sampai pada perkembangan iman, semuanya ditangani oleh pendidik. Berarti pendidikan bermaksud membuat manusia lebih sempurna, membuat manusia meningkatkan hidupnya dari kehidupan alamiyah menjadi berbudaya. Memdidik adalah membudayakan manusia.[4]
Berbagai pendekatan mengenai hakikat pendidikan telah melahirkan berbagai teori mengenai apakah sebenarnya pendidikan itu. [5]
B.     Hubungan Hakikat Manusia Dan Pendidikan
1.      Asas-Asas keharusan atau perlunya pendidikan bagi manusia
Asas keharusan pendidikan ada 3 asas yaitu: Pertama, manusia sebagai makhluk yang belum selesai, artinya manusia harus merencanakan, berbuat, dan menjadi. Dengan demikian setiap saat manusia dapat menjadi lebih atau kurang dari keadaanya. Contoh manusia belum selesai: manusia lahir dalam keadaaan tidak berdaya sehingga memerlukan bantuan orang tuanya atau orang lain dan selain itu manusia harus mengejar masa depan untuk mencapai tujuannya. Kedua, tugas dan tujuan manusia adalah menjadi manusia, yaitu aspek potensi untuk menjadi apa dan siapa, merupakan tugas yang harus diwujudkan oleh setiap orang. Ketiga, perkembangan manusia bersifat terbuka, yaitu manusia mungkin berkembang sesuai dengan kodratnya dan martabat kemanusiaanya, sebaliknya mungkin pula berkembang kearah yang kurang sesuai. Contoh: manusia memiliki kesempatan memperoleh kepandaian, sehat jasmani rohani, tata krama yang baik, tujuan hidupnya.
2.      Asas-asas Kemungkinan Pendidikan
Ada lima asas antropologi yang mendasari kesimpulan bahwa manusia mungkin dididik atau dapat dididik. Pertama azas Potensial, yaitu manusia akan dapat didik karena memiliki potensi untuk dapat menjadi manusia. Kedua azas Dinamika, yaitu manusia selalu menginginkan dan mengejar segala yang lebih dari apa yang telah dicapainya. Ketiga Azas Individualitas, yaitu manusia sebagai mahluk individu tidak akan pasif, melainkan bebas dan aktif berupaya untuk mewujudkan dirinya. Keempat Azas Sosialitas, yaitu manusia butuh bergaul dengan orang lain. Kelima yaitu azas Moralitas, yaitu manusia memiliki kemampuan untuk membedakan yang baik dan tidak .[6]
C.    Konsep Dasar Pendidikan
Ada beberapa konsepsi dasar pendidikan yang akan dilaksanakan yaitu:
1.      Bahwa pendidikan berlangsung seumur hidup.
2.      Bahwa bertanggung jawab pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah.
3.      Pendidikan merupakan suatu keharusan, karena dengan pendidikan manusia akan memiliki kemampuan dan kepribadian yang berkembang.[7]
D.    Sifat-sifat Ilmu Pendidikan
1.      Ilmu Pendidikan Bersifat Deskriptif-Normatif
Ilmu pendidikan itu selalu berhubungan dengan soal siapakah “manusia” itu. Pembahasan tentang siapakah manusia biasanya termasuk dalam bidang filsafat, yaitu bersifat antropologi. Pandangan filsafat tentang manusia sangat besar pengaruhnya terhadap konsep serta praktik-praktik pendidikan. Karena pandangan filsafat itu menentukan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh seorang pendidik atau suatu bangsa yang melaksanakan pendidikan.
Nilai yang dijunjung tinggi itu dijadikan norma untuk menentukan ciri-ciri manusia yang ingi dicapai melalui praktik pendidikan. Nilai-nilai ini tidak diperoleh hanya dari paktik dan pengalaman mendidik, tetapi secara normatif bersumber dari norma masyarakat, norma filsafat, dan pandangan hidup, bahkan juga dari keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang.
2.      Ilmu Pendidikan Bersifat Teoritis dan Praktis-Pragmatis
Pada umumnya ilmu mendidik tidak hanya mencari pengetahuan deskriptif tentang objek pendidikan, melainkan ingin juga mengetahui bagaimana cara sebaiknya untuk berfaedahterhadap objek didiknya. [8]
E.     Tujuan Pendidikan
            Tujuan pendidikan ditujukan untuk meningkatkan kualitas manusia yaitu:
1.      Hubungan dengan Tuhan Ialah beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2.      Pembentukan pribadi mencakup budi pekerti yang luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tanggug, cerdas, dan kreatif.
3.      Bidang usaha mencakup keterampilan, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung  jawab, dan produktif.
4.      Kesehatan yang mencakup kesehatan jasmani dan rohani.
   Keempat kelompok ini sudah mencakup keseluruhan perkembangan dan pertumbuhan yang harus dilakukan oleh setiap manusia. Setiap orang normal membutuhkan pembentukan diri, baik dari segi kepribadian, kesehatan, maupun kemampuan mempertahankan hidup dan tanggung jawabnya kepada Tuhan Ynag Maha Esa sebagai pencipta. Pendidikan mengemban tugas untuk menghasilkan generasi yang baik, manusia-manusia yang lebih berbudaya, manusia yang memiliki kepribadian yang baik.[9]
PENUTUP
Kesimpulan
            Sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan bermaksud membantu  peserta didik untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi kemanusiaannya. Potensi kemanusiaan merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia
            Pendidikan pada hakikatnya akan mencakup kegiatan mendidik, mengajar, danmelatih. Kegiatan tersebut kita laksanakan sebagai suatu usaha untuk mentransformasikan nilai-nilai. Maka dalam pelaksanaanya, kegiatan tadi harus berjalan secara serempak dan terpadu, berkelanjutan, serta serasi dengan perkembangan anak didik serta lingkungan hidupnyadan berlangsung seumur hidup
           
           
DAFTAR PUSTAKA
Umar Tirta Raharja, Lasulo. 2000. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Pidarta, Made. 1997. Landasan Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Tilaar. A. R. 2002. Pendidikan, Kebudayaan, Dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Munib, Achmad. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: UNNES Press.


[1] Dr. Umar Tirtaraharja dan Drs. La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta), h. 1.
[2] Ibid., h. 4.
[3] Achmad Munib, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Semarang: UNNES Press, 2009), h. 29.
[4] Prof. Dr. Made Pidarta, Landasan Kependidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta), h. 2.
[5] Prof. Dr. Tilaar, Pendidikan, kebudayaan, dan Masyarakat Madani di Indonesia, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya)
[7] Achmad Munib, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Semarang: UNNES Press, 2009), h. 30.
[8] Achmad Munib, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Semarang: UNNES Press, 2009), h. 34-37.
[9] Prof. Dr. Made Pidarta, Landasan Kependidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta), h. 12.

'IDDAH DAN RUJUK



‘IDDAH DAN RUJUK
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas :
Mata Kuliah             : Fiqh III
Dosen Pengampu     : Drs. H. Ismail, M.Ag


STAIN logo polos
 

Disusun Oleh : 
Subur Mukti Wibowo
Kelas E Tarbiyah PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
TAHUN 2013
PENDAHULUAN
            Hukum perdata islam dapat diketahui dan didapat diketahui dan dipahami segala yang berkaitan dengan hukum perkawinan, kewarisan, dan pengaturan kebendaan dan hak-hak atas benda dan lain sebagainya. Dalam hal ini pemakalah membahas tentang ‘iddah dan rujuk yang dalam hal ini termasuk dalam kajian fiqh munakhahat.
            ‘iddah dan rujuk adalah sesuatu hukum yang sering menjadi perdebatan umum dan sering terjadi di dalam hubungan berumah tangga, oleh karena itu sangatlah penting untuk mempelajari dan memahami tentang hukum tersebut. Di sini pemakah berharap Pada akhir pembahasan ini tercapai deskripsi tentang ‘iddah dan rujuk beserta permasalahanya.

PEMBAHASAN
A.    ‘Iddah
1.      Pengertian
Iddah adalah perhitungan atau sesuatu yang dihitung. Secara bahasa mengandung pengertian hari-hari haidh atau hari-hari suci wanita. Sedangkan secara istilah ‘iddah  mengandung arti masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berpikir bagi suami.[1] Hal ini berdasarkan firman Allah surat Al-Ahzab (33) ayat 49 sebagai berikut.
يا ايها الذين ءامنوا اذا نكهتم المؤمنا ت ثم طلقتمو هن من قبل ان تمسو هن فما لكم عليهن من عدة تعتد ونها فمتعو هن وسر حوهن سرا حا جميلا (الا حزاب:49 )
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakanny. Maka berilah mereka mu’tah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.”
Para ulama mendefinisikan ‘iddah sebagai nama waktu untuk menanti kesucian seorang istri yang ditinggal mati atau diceraikan oleh suaminya, yang sebelum habis masa itu dilarang untuk dinikahkan.[2]
Seorang wanita yang telah dicerai oleh suaminya, dilarang melakukan perkawinan dengan lelaki lain selama masa yang telah ditentukan oleh syri’at. Masa yang telah ditentukan ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada suami dan istri untuk berfikir, apakah perkawinan tersebut masih dapat dilanjutkan dengan cara rujuk’ (kembali), jika perceraian itu terjadi pada talak raj’i (talak satu dan dua), atau perceraian itu lebih baik bagi keduanya.
Di samping itu masa tunggu itu berguna untuk mengetahui apakah rahim si istri tersebut berisi janin atau tidak sehingga apabila wanita tersebut hamil segera diketahui nasabnya.[3]
2.      Waktu ‘iddah dihitung sebagai berikut:
a)      Bagi seorang istri yang masih berhaidh, masa ‘iddahnya adalah tiga kali suci
b)      Bagi seorang istri yang tiada berhaidh, masa ‘iddahnya adalah tiga bulan
c)      Bagi seorang istri yang sedang hamil, masa ‘iddahnya adalah sampai melahirkan anak
d)     Bagi seorang istri yang kematian suaminya, bila ia tidak hamil, masa ‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari.[4]
3.      Ketentuan-Ketentuan Selama Dalam Waktu ‘Iddah
a)      Istri yang ditalak dengan talak raj’i, berhak mendapat nafkah, pakaian dan tempat kediaman dari bekas suaminya. Dan bekas suaminya berhak rujuk kepadanya dengan sepakat madzab yang empat
b)      Isteri yang hamil dengan talak bain, berhak mendapat nafkah dengan segala macamnya hingga lahir anaknya, dengan sepakat ulama.
c)      Istri yang tidak hamil dan ditalak dengan talak bain, tidak berhak mendapat nafkah menurut Syafi’i, Maliki dan Hanbali dan berhak mendapat nafkah menurut mazhab Hanafi
d)     Perempuan dalam keadaan ‘iddah akibat suaminya meninggal dunia menurut sebagian ulama tidak mempunyai hak nafkah maupun tempat tinggal, mengingat bahwa harta peninggalan suaminya kini telah menjadi hak ahli waris, termasuk ia dan anak-anaknya.[5]
4.      Hikmah Ber’iddah
            Hikmah ber’iddah adalah supaya rahim isteri suci dan bersih dari bekas suami yang pertama, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran bahwa istri itu hamil dai suaminya yang pertama sehingga suami yang kedua mengawini perempuan itu dengan hati yang tidak ragu. Dengan demikian terjagalah keturunan anak yang sah dalam masyarakat, sebagai salah satu tujuan pernikahan.
B.     Rujuk
1.      Pengertian
            Rujuk dalam pengertian etimologi adalah kembali. Rujuk dalam pengertian terminologi adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istriyang telah dicerai raj’i, dan dilaksanakan selama istri masih dalam masa ‘iddah.
            Dasar hukum rujuk ialah firman Allah SWT.
وبعو لتهن احق برد هن فى ذلك ان ارد وااصلاحا (البقر ة : 288)
dan suami-suami mereka berhak merujukinya dalam masa menanti (masa ‘iddah) dan jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah,[6]
Apabila suami melakukan rujuk berarti melakukan akad nikah kembali. Dengan demikian istri yang akan dirujuk oleh suaminya menyetujuinya dan disaksikan oleh dua orang saksi. Di lain pihak, walaupun sang bekas suami ingin rujuk kepada istrinya yang masih dalam masa ‘iddah, tetapi sang istri tidak menerimanya maka hal itu tidak akan terjadi rujuk.[7]
Adapun rukun rujuk adalah sighat (pernyataan kembali suami) serta perbuatan yang menunjukan keinginan tersebut. Sighat dalam hal rujuk berbeda dengan sighat dalam akad nikah. Bila sighat dalam akad nikah, wali dan mempelai pria mengucapkan ijab dan qobul, maka dalam rujuk hanya pernyataan dari suami saja bahkan bisa hanya dengan niat yang kemudian dilanjutkan dengan persetubuhan.[8]
Akan tetapi jika masa ‘iddahnya telah habis, suami berniat untuk kembali, maka ia harus memulai dengan akad yang baru serta dengan mahar yang baru.
2.      Syarat-Syarat Rujuk
a)      Bekas suami yang rujuk itu adalah orang yang mukallaf.
b)      Cara rujuk. Pendapat pertama: rujuk hanyalah dengan perkataan. Pendapat kedua: rujuk dengan perkataan dan perbuatan
c)      Rujuk hendaklah disaksikan oleh dua orang saksi.
d)     Dilakukan oleh bekas suami diwaktu bekas istri menjalankan masa ‘iddahnya. Tidak sah rujuk yang dilakukan diluar masa ‘iddah.
3.      Talak Yang Boleh Dirujuki
            Para ahli fiqh sepakat bahwa talak yang dapat dirujuki adalah talak raj’i.
            Sepakat pula para ahli fiqh apabila telah terjadi talak bain sughra, hilanglah hak rujuk suami dan bekas suami istri diperbolehkan mengadakan akad nikah yang baru di waktu bekas isteri menjalankan masa ‘iddahnya. [9]
4.      Hikmah Rujuk
a)      Betaubat dan menyesali kesalahan-kesalahan yang lalu untuk bertekad memperbaikinya.
b)      Menghindari murka dan kebencian Allah SWT
c)      Untuk menjaga keutuhan dan keselamatan keluarga, khususnya masa depan anak-anak.
PENUTUP
            Kesimpulan
            Iddah adalah perhitungan atau sesuatu yang dihitung. Secara bahasa mengandung pengertian hari-hari haidh atau hari-hari suci wanita. Sedangkan secara istilah ‘iddah  mengandung arti masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berpikir bagi suami.
            Rujuk dalam pengertian etimologi adalah kembali. Rujuk dalam pengertian terminologi adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istriyang telah dicerai raj’i, dan dilaksanakan selama istri masih dalam masa ‘iddah.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan. 2006.  Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Aziz Dahlan, Abdul. 1996.  Ensikopledi Hukum Islam, jilid II. Jakarta: Ickhtiar Baru Van Hoeve.
Drs. Kamal Muchtar. 1993.  Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: PT. Bulan Bintang.


[1] Abdul Aziz Dahlan, Ensikopledi Hukum Islam, jilid II, (Jakarta: Ickhtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 637.
[2] Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 240.
[3] Ibid., hlm. 242.
[4] Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996), h.139.
[5] Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 249-250.
[6] Drs. Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), h. 237.
[7] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 91.
[8] Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 266.
[9] Drs. Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), h. 239.