Translate

Jumat, 15 Maret 2013

Majlis Ta'lim Daruth Tholabah Kaso Gunung Doro

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Muamalah merupakan bagian dari rukun islam yang mengatur hubungan antara seseorang dan orang lain. Contoh hukum islam yang termasuk muamalah salah satunya adalah ijarah (sewa-menyewa).
Seiring dengan perkembangan zaman, transaksi muamalah tidak terdapat miniatur dari ulama klasik, transaksi tersebut merupakan terobosan baru dalam dunia modern.Dalam hal ini kita harus cermat, apakah transaksi modern ini memiliki pertentangan tidak dengan kaidah fiqih? Jika tidak, maka transaksi dapat dikatakan mubah.
Dalam makalah ini akan dijelaskan secara sederhana tentang definisi ijarah, landasan hukum, rukun dan syarat sahnya. Juga pembagian dan hukum ijarah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Mendefinisikan Ijarah?
2.      Menyebutkan landasan hukum Ijarah?
3.      Menyebutkan rukun dan syarat sah Ijarah?
4.      Menyebutkan berapa macam pembagian dan hokum Ijarah?







PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Al-Ijarah berasal dari kata al-Ajru yang berarti Al’lwadhu (ganti). Dari sebab itu Ats Tsawab (pahala) dinamai Ajru (upah).[1]
Menurut pengertian Syara’, Al-Ijarah ialah: Urusan sewa menyewa yang jelas manfaat dan tujuanya, dapat diserah terimakan, boleh dengan ganti (upah) yang telah diketahui (gajian tertentu).[2]Seperti halnya barang itu harus bermanfaat, misalkan: rumah untuk ditempati, mobil untuk dinaiki.
Pemilik yang menyewakan manfaat disebut Mu’ajjir (orang yang menyawakan). Pihak lain yang memberikan sewa disebut Musta’jir ( orang yang menyawa = penyewa). Dan, sesuatu yang di akadkan untuk diambil manfaatnya disebut Ma’jur ( Sewaan). Sedangkan jasa yang diberikan sebagai imbalan manfaat disebut  Ajran atau Ujrah (upah). Dan setelah terjadi akad Ijarah telah berlangsung orang yang menyewakan berhak mengambil upah, dan orang yang menyewa berhak mengambil manfaat, akad ini disebut pula Mu’addhah (penggantian.[3]
B.     Dasar Hukum
Dasar –dasar hukum atau rujukan Ijarah adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Al-Ijma’.
1.      Dasar hukum Ijarah dalam Al-Qur’an adalah :


فا ن ارضعن لكم فاء توهن اجو رهن ( ا لطلاق : 6) 
 Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah upahnya.(Al-Talaq: 6).
2.      Dasar Hukun Ijarah Dari Al-Hadits:
 ( هريرةأبيعنالرزاقعبدرواه )اَجْرَهُفَلْيَعْمَلْجِيْرًااَجَرَاسْتَأْمَنِ
Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh, beritahukanlah upahnya.
(HR. Abdul Razaqdari Abu Hurairah).
3.      Landasan Ijma’nya ialah:
            Umat islam pada masa sahabat telah ber ijma’ bahwa ijarah diperbolehkan sebab bermanfaat bagi manusia. .[4]
C.     Rukun Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun Ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain dengan menggunakan kalimat: al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’, dan al-ikra.
Adapun menurut jumhur ulama, rukun ijaraha da 4, yaitu:
1.      Aqid (orang yang akad).
2.      Shigat akad.
3.      Ujrah (upah).
4.      Manfaat.

D.    Syarat Sah Ijarah
        Ada 5 syarat sah dari ijarah, diantaranya:
1.Kerelaan dari dua pihak yang melakukan akad ijarah tersebut,
2.      Mengetahui manfaat dengan sempurna barang yang diakadkan, sehingga mencegah terjadinya perselisahan,
3.      Kegunaannya dari barang tersebut,
4.      Kemanfaatan benda dibolehkan menurutsyara’,
5.      Objek transaksi akad itu (barangnya) dapat dimanfaatkan kegunaannya menurut kriteria, dan realita.[5]

E.     Pembagian dan Hukum Ijarah
Ijarah terbagi menjadi dua, yaitu ijarah terhadap benda atau sewa-menyewa, dan ijarah atas pekerjaan atau upah-mengupah.
1.      Hukum sewa-menyewa
Dibolehkan ijarah atas barang mubah, seperti: rumah, kamar, dan lain-lain. Tetapi dilarang ijarah terhadap benda-benda yang diharamkan.
a)      Ketetapan Hukum Akad dalam Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, ketetapan akad ijarah adalah kemanfaatan yang sifatnya mubah.Menurut ulama Malikiyah, hokum ijarah sesuai dengan keberadaan manfaat. Ulama Hanabilah danS yafi’iyah berpendapat bahwa hukum ijarah tetap pada keadaannya, dan hukum tersebut menjadikan masa sewa seperti benda yang tampak.
b)      Cara Memanfaatkan BarangSewaan
1)      Sewa Rumah
Jika seseorang menyewa rumah dibolehkan untuk memanfaatkannya sesuai kemauannya, baik dimanfaatkan sendiri atau dengan orang orang lain, bahkan boleh disewakan lagi atau dipinjamkan pada orang lain.
2)      Sewa Tanah
Sewa tanah diharuskan untuk menjelaskan tanaman apa yang akan ditanam atau bangunan apa yang akand idirikan di atasnya. Jika tidak dijelaskan ijarah dipandang rusak.


3)      Sewa kendaraan
Dalam menyewa kendaraan, baik hewan atau kendaraan lainnya harus dijelaskan salah satu diantara dua hal, yaitu waktu dan tempat. Juga harus dijelaskan barang yang akan dibawa atau benda yang akan diangkut.
c)      Perbaikan Barang Sewaan
Menurut ulama Hanafiyah, jika barang yang disewakan rusak, pemiliknyalah yang berkewajiban memmperbaikinya, tetapi ia tidak boleh dipaksa. Apabila penyewa bersedia memperbaikinya, ia tidak diberikan upah sebab dianggap sukarela.
Adapun hal-hal kecil seperti membersihkan sampah atau tanah merupakan kewajiban penyewa.
d)     Kewajiban Penyewa Setelah Habis Masa Sewa
1)      Menyeahkan kunci jika yang disewa rumah
2)      Jika yang disewa kendaraan, ia harus menyimpannya kembali di tempat asalnya

2.      Hukum Upah-Mengupah
Upah-mengupah atau ijarah ‘ala al-a’mal, yakni jual-beli jasa. Biasanya berlaku dalam beberapa hal seperti menjahitkan pakaian, membangun rumah, dan lain-lain. Ijarah ‘ala al a’mal, terbagi dua, yaitu:
a)      Ijarah Khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya, orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang telah memberinya upah.
b)      Ijarah Musytarik
Yaitu ijarah dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja-sama. Hukumnya dibolehkan bekerja-sama dengan orang lain.[6]


F.      Hak Menerima Upah
1)      Selesai bekerja
Seperti dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa Rasulullah SAW, bersabda:

(عمرابيعنماجهابنرواه)عَرَقُهُيَجِفَّاَنْقَبْلَاَجْرَهُاْلاَجِيْرَاُعْطُوْا
“Berikanlah olehmu upah orang bayaran sebelum keringatnya kering.”[7]

2)      Mengalirnya manfaat, jika ijarah untuk barang
Karena apabila dalam suatu barang itu telah terjadi kerusakan maka akad ijarah itupun batal.
3)      Memungkinkan mengalirnya manfaat jika masanya berlasung.
4)      Mempercepat dalam bentuk akad ijarah (bayaran).

G.    Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah adalah jenis akad lazim, yang salah satu pihak yang berakad tidak memiliki hak fasakh, karena ia merupakan akad pertukaran, kecuali didapati hal yang mewajibkan fasakh. Seperti di bawah ini:
1)      Terjadi aib terhadap barang sewaan yang kejadiannya di tangan penyewa atau terlihat aib lama padanya.
2)      Rusakny abarang yang disewakan.
3)      Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, atau selesainya pekerjaan,  atau berakhirnya masa, kecuali jika terdapat uzur yang mencegah fasakh.[8]




PENUTUP
Kesimpulan
Pada dasarnya, ijarah di defnisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang/jasa dengan membayar imbalan tertentu. ada yang menerjemahkan, ijarah sebagai jual beli jasa (upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkan sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang.
Transaksi ijarah di landasi adanya pemindahan manfaat (hak guna), bukan pemindahan kepemilikan (hak milik). Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja prinsip jual beli.














DAFTAR ISI
Abu Abdillah, Syamsuddin. 2010. Terjemah FHATHUL QARIB. Surabaya : CM Grafika.
Djuwaini, Dimyauddin. 2010. Pengantar FIQH MUAMALAH. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Hasbi Ash Shiddieqi, Teungku Muhammad. 1997. Hukum-hukum Fiqih Islam. Yogyakarta : PT. Pustaka Rizki Putra.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah 13. Bandung : PT. AL – Ma’arif.
Suhendi, Hendi. 2005. Fiqh Muamalah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Syafe’i Rachmat. 2004. Fiqih Muamalah. Bandung : Pustaka Setia.











[1] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13, (Bandung : PT. AL – Ma’arif, 1987) hlm. 7.
[2]Syamsuddin Abu Abdillah, Terjemah FHATHUL QARIB,(Surabaya : CM Grafika, 2010) hlm. 209.
[3] Sayyid Sabiq, Op.Cit,...hlm. 9.
[4]Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si. FIQH MUAMALAH, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), hlm. 116
[5]Sayyidsabiq, Op.Cit., hlm. 12-13
[6] Prof. DR. H. Rachmat Syafe’I, M.A., Op.Cit.,hlm. 131-134
[7] Dimyauddin Djuaini, Pengantar FIQH MUAMALAH,( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 156
[8]SayyidSabiq, Op.Cit.,hlm. 21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar