Translate

Senin, 18 Maret 2013

'IDDAH DAN RUJUK



‘IDDAH DAN RUJUK
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas :
Mata Kuliah             : Fiqh III
Dosen Pengampu     : Drs. H. Ismail, M.Ag


STAIN logo polos
 

Disusun Oleh : 
Subur Mukti Wibowo
Kelas E Tarbiyah PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
TAHUN 2013
PENDAHULUAN
            Hukum perdata islam dapat diketahui dan didapat diketahui dan dipahami segala yang berkaitan dengan hukum perkawinan, kewarisan, dan pengaturan kebendaan dan hak-hak atas benda dan lain sebagainya. Dalam hal ini pemakalah membahas tentang ‘iddah dan rujuk yang dalam hal ini termasuk dalam kajian fiqh munakhahat.
            ‘iddah dan rujuk adalah sesuatu hukum yang sering menjadi perdebatan umum dan sering terjadi di dalam hubungan berumah tangga, oleh karena itu sangatlah penting untuk mempelajari dan memahami tentang hukum tersebut. Di sini pemakah berharap Pada akhir pembahasan ini tercapai deskripsi tentang ‘iddah dan rujuk beserta permasalahanya.

PEMBAHASAN
A.    ‘Iddah
1.      Pengertian
Iddah adalah perhitungan atau sesuatu yang dihitung. Secara bahasa mengandung pengertian hari-hari haidh atau hari-hari suci wanita. Sedangkan secara istilah ‘iddah  mengandung arti masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berpikir bagi suami.[1] Hal ini berdasarkan firman Allah surat Al-Ahzab (33) ayat 49 sebagai berikut.
يا ايها الذين ءامنوا اذا نكهتم المؤمنا ت ثم طلقتمو هن من قبل ان تمسو هن فما لكم عليهن من عدة تعتد ونها فمتعو هن وسر حوهن سرا حا جميلا (الا حزاب:49 )
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakanny. Maka berilah mereka mu’tah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.”
Para ulama mendefinisikan ‘iddah sebagai nama waktu untuk menanti kesucian seorang istri yang ditinggal mati atau diceraikan oleh suaminya, yang sebelum habis masa itu dilarang untuk dinikahkan.[2]
Seorang wanita yang telah dicerai oleh suaminya, dilarang melakukan perkawinan dengan lelaki lain selama masa yang telah ditentukan oleh syri’at. Masa yang telah ditentukan ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada suami dan istri untuk berfikir, apakah perkawinan tersebut masih dapat dilanjutkan dengan cara rujuk’ (kembali), jika perceraian itu terjadi pada talak raj’i (talak satu dan dua), atau perceraian itu lebih baik bagi keduanya.
Di samping itu masa tunggu itu berguna untuk mengetahui apakah rahim si istri tersebut berisi janin atau tidak sehingga apabila wanita tersebut hamil segera diketahui nasabnya.[3]
2.      Waktu ‘iddah dihitung sebagai berikut:
a)      Bagi seorang istri yang masih berhaidh, masa ‘iddahnya adalah tiga kali suci
b)      Bagi seorang istri yang tiada berhaidh, masa ‘iddahnya adalah tiga bulan
c)      Bagi seorang istri yang sedang hamil, masa ‘iddahnya adalah sampai melahirkan anak
d)     Bagi seorang istri yang kematian suaminya, bila ia tidak hamil, masa ‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari.[4]
3.      Ketentuan-Ketentuan Selama Dalam Waktu ‘Iddah
a)      Istri yang ditalak dengan talak raj’i, berhak mendapat nafkah, pakaian dan tempat kediaman dari bekas suaminya. Dan bekas suaminya berhak rujuk kepadanya dengan sepakat madzab yang empat
b)      Isteri yang hamil dengan talak bain, berhak mendapat nafkah dengan segala macamnya hingga lahir anaknya, dengan sepakat ulama.
c)      Istri yang tidak hamil dan ditalak dengan talak bain, tidak berhak mendapat nafkah menurut Syafi’i, Maliki dan Hanbali dan berhak mendapat nafkah menurut mazhab Hanafi
d)     Perempuan dalam keadaan ‘iddah akibat suaminya meninggal dunia menurut sebagian ulama tidak mempunyai hak nafkah maupun tempat tinggal, mengingat bahwa harta peninggalan suaminya kini telah menjadi hak ahli waris, termasuk ia dan anak-anaknya.[5]
4.      Hikmah Ber’iddah
            Hikmah ber’iddah adalah supaya rahim isteri suci dan bersih dari bekas suami yang pertama, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran bahwa istri itu hamil dai suaminya yang pertama sehingga suami yang kedua mengawini perempuan itu dengan hati yang tidak ragu. Dengan demikian terjagalah keturunan anak yang sah dalam masyarakat, sebagai salah satu tujuan pernikahan.
B.     Rujuk
1.      Pengertian
            Rujuk dalam pengertian etimologi adalah kembali. Rujuk dalam pengertian terminologi adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istriyang telah dicerai raj’i, dan dilaksanakan selama istri masih dalam masa ‘iddah.
            Dasar hukum rujuk ialah firman Allah SWT.
وبعو لتهن احق برد هن فى ذلك ان ارد وااصلاحا (البقر ة : 288)
dan suami-suami mereka berhak merujukinya dalam masa menanti (masa ‘iddah) dan jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah,[6]
Apabila suami melakukan rujuk berarti melakukan akad nikah kembali. Dengan demikian istri yang akan dirujuk oleh suaminya menyetujuinya dan disaksikan oleh dua orang saksi. Di lain pihak, walaupun sang bekas suami ingin rujuk kepada istrinya yang masih dalam masa ‘iddah, tetapi sang istri tidak menerimanya maka hal itu tidak akan terjadi rujuk.[7]
Adapun rukun rujuk adalah sighat (pernyataan kembali suami) serta perbuatan yang menunjukan keinginan tersebut. Sighat dalam hal rujuk berbeda dengan sighat dalam akad nikah. Bila sighat dalam akad nikah, wali dan mempelai pria mengucapkan ijab dan qobul, maka dalam rujuk hanya pernyataan dari suami saja bahkan bisa hanya dengan niat yang kemudian dilanjutkan dengan persetubuhan.[8]
Akan tetapi jika masa ‘iddahnya telah habis, suami berniat untuk kembali, maka ia harus memulai dengan akad yang baru serta dengan mahar yang baru.
2.      Syarat-Syarat Rujuk
a)      Bekas suami yang rujuk itu adalah orang yang mukallaf.
b)      Cara rujuk. Pendapat pertama: rujuk hanyalah dengan perkataan. Pendapat kedua: rujuk dengan perkataan dan perbuatan
c)      Rujuk hendaklah disaksikan oleh dua orang saksi.
d)     Dilakukan oleh bekas suami diwaktu bekas istri menjalankan masa ‘iddahnya. Tidak sah rujuk yang dilakukan diluar masa ‘iddah.
3.      Talak Yang Boleh Dirujuki
            Para ahli fiqh sepakat bahwa talak yang dapat dirujuki adalah talak raj’i.
            Sepakat pula para ahli fiqh apabila telah terjadi talak bain sughra, hilanglah hak rujuk suami dan bekas suami istri diperbolehkan mengadakan akad nikah yang baru di waktu bekas isteri menjalankan masa ‘iddahnya. [9]
4.      Hikmah Rujuk
a)      Betaubat dan menyesali kesalahan-kesalahan yang lalu untuk bertekad memperbaikinya.
b)      Menghindari murka dan kebencian Allah SWT
c)      Untuk menjaga keutuhan dan keselamatan keluarga, khususnya masa depan anak-anak.
PENUTUP
            Kesimpulan
            Iddah adalah perhitungan atau sesuatu yang dihitung. Secara bahasa mengandung pengertian hari-hari haidh atau hari-hari suci wanita. Sedangkan secara istilah ‘iddah  mengandung arti masa menunggu bagi wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berpikir bagi suami.
            Rujuk dalam pengertian etimologi adalah kembali. Rujuk dalam pengertian terminologi adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istriyang telah dicerai raj’i, dan dilaksanakan selama istri masih dalam masa ‘iddah.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan. 2006.  Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Aziz Dahlan, Abdul. 1996.  Ensikopledi Hukum Islam, jilid II. Jakarta: Ickhtiar Baru Van Hoeve.
Drs. Kamal Muchtar. 1993.  Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: PT. Bulan Bintang.


[1] Abdul Aziz Dahlan, Ensikopledi Hukum Islam, jilid II, (Jakarta: Ickhtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 637.
[2] Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 240.
[3] Ibid., hlm. 242.
[4] Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996), h.139.
[5] Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 249-250.
[6] Drs. Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), h. 237.
[7] Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 91.
[8] Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 266.
[9] Drs. Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), h. 239.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar