‘IDDAH DAN RUJUK
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas :
Mata Kuliah : Fiqh
III
Dosen Pengampu : Drs. H. Ismail, M.Ag
Disusun Oleh :
Subur
Mukti Wibowo
Kelas E Tarbiyah PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
TAHUN 2013
PENDAHULUAN
Hukum perdata islam dapat diketahui dan didapat diketahui dan
dipahami segala yang berkaitan dengan hukum perkawinan, kewarisan, dan
pengaturan kebendaan dan hak-hak atas benda dan lain sebagainya. Dalam hal ini
pemakalah membahas tentang ‘iddah dan rujuk yang dalam hal ini termasuk dalam
kajian fiqh munakhahat.
‘iddah dan rujuk
adalah sesuatu hukum yang sering menjadi perdebatan umum dan sering terjadi di
dalam hubungan berumah tangga, oleh karena itu sangatlah penting untuk
mempelajari dan memahami tentang hukum tersebut. Di sini pemakah berharap Pada
akhir pembahasan ini tercapai deskripsi tentang ‘iddah dan rujuk beserta
permasalahanya.
PEMBAHASAN
A.
‘Iddah
1.
Pengertian
‘Iddah adalah perhitungan atau sesuatu yang dihitung. Secara
bahasa mengandung pengertian hari-hari haidh atau hari-hari suci wanita.
Sedangkan secara istilah ‘iddah mengandung arti masa menunggu bagi wanita
untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik
cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya
atau untuk berpikir bagi suami.[1]
Hal ini berdasarkan firman Allah surat Al-Ahzab (33) ayat 49 sebagai berikut.
يا ايها الذين ءامنوا اذا نكهتم المؤمنا ت ثم طلقتمو هن من قبل ان
تمسو هن فما لكم عليهن من عدة تعتد ونها فمتعو هن وسر حوهن سرا حا جميلا (الا
حزاب:49 )
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah
bagimu yang kamu minta menyempurnakanny. Maka berilah mereka mu’tah dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.”
Para ulama mendefinisikan ‘iddah sebagai nama waktu untuk menanti
kesucian seorang istri yang ditinggal mati atau diceraikan oleh suaminya, yang
sebelum habis masa itu dilarang untuk dinikahkan.[2]
Seorang wanita yang telah dicerai oleh suaminya, dilarang melakukan
perkawinan dengan lelaki lain selama masa yang telah ditentukan oleh syri’at.
Masa yang telah ditentukan ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada
suami dan istri untuk berfikir, apakah perkawinan tersebut masih dapat
dilanjutkan dengan cara rujuk’ (kembali), jika perceraian itu terjadi
pada talak raj’i (talak satu dan dua), atau perceraian itu lebih baik
bagi keduanya.
Di samping itu masa tunggu itu berguna untuk mengetahui apakah rahim
si istri tersebut berisi janin atau tidak sehingga apabila wanita tersebut
hamil segera diketahui nasabnya.[3]
2.
Waktu
‘iddah dihitung sebagai berikut:
a)
Bagi
seorang istri yang masih berhaidh, masa ‘iddahnya adalah tiga kali suci
b)
Bagi
seorang istri yang tiada berhaidh, masa ‘iddahnya adalah tiga bulan
c)
Bagi
seorang istri yang sedang hamil, masa ‘iddahnya adalah sampai melahirkan anak
d)
Bagi
seorang istri yang kematian suaminya, bila ia tidak hamil, masa ‘iddahnya
adalah empat bulan sepuluh hari.[4]
3.
Ketentuan-Ketentuan
Selama Dalam Waktu ‘Iddah
a)
Istri
yang ditalak dengan talak raj’i, berhak mendapat nafkah, pakaian dan tempat
kediaman dari bekas suaminya. Dan bekas suaminya berhak rujuk kepadanya dengan
sepakat madzab yang empat
b)
Isteri
yang hamil dengan talak bain, berhak mendapat nafkah dengan segala macamnya
hingga lahir anaknya, dengan sepakat ulama.
c)
Istri
yang tidak hamil dan ditalak dengan talak bain, tidak berhak mendapat nafkah
menurut Syafi’i, Maliki dan Hanbali dan berhak mendapat nafkah menurut mazhab
Hanafi
d)
Perempuan
dalam keadaan ‘iddah akibat suaminya meninggal dunia menurut sebagian ulama
tidak mempunyai hak nafkah maupun tempat tinggal, mengingat bahwa harta
peninggalan suaminya kini telah menjadi hak ahli waris, termasuk ia dan
anak-anaknya.[5]
4.
Hikmah
Ber’iddah
Hikmah ber’iddah adalah supaya rahim
isteri suci dan bersih dari bekas suami yang pertama, sehingga tidak ada lagi
kekhawatiran bahwa istri itu hamil dai suaminya yang pertama sehingga suami
yang kedua mengawini perempuan itu dengan hati yang tidak ragu. Dengan demikian
terjagalah keturunan anak yang sah dalam masyarakat, sebagai salah satu tujuan
pernikahan.
B.
Rujuk
1.
Pengertian
Rujuk dalam pengertian etimologi
adalah kembali. Rujuk dalam pengertian terminologi adalah kembalinya suami
kepada hubungan nikah dengan istriyang telah dicerai raj’i, dan dilaksanakan
selama istri masih dalam masa ‘iddah.
Dasar hukum rujuk ialah firman Allah
SWT.
وبعو لتهن احق برد هن فى ذلك ان ارد وااصلاحا (البقر ة : 288)
“dan suami-suami mereka berhak merujukinya dalam
masa menanti (masa ‘iddah) dan jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah,”[6]
Apabila suami melakukan rujuk berarti melakukan akad nikah kembali.
Dengan demikian istri yang akan dirujuk oleh suaminya menyetujuinya dan
disaksikan oleh dua orang saksi. Di lain pihak, walaupun sang bekas suami ingin
rujuk kepada istrinya yang masih dalam masa ‘iddah, tetapi sang istri tidak
menerimanya maka hal itu tidak akan terjadi rujuk.[7]
Adapun rukun rujuk adalah sighat (pernyataan kembali suami) serta
perbuatan yang menunjukan keinginan tersebut. Sighat dalam hal rujuk berbeda
dengan sighat dalam akad nikah. Bila sighat dalam akad nikah, wali dan mempelai
pria mengucapkan ijab dan qobul, maka dalam rujuk hanya pernyataan dari suami
saja bahkan bisa hanya dengan niat yang kemudian dilanjutkan dengan
persetubuhan.[8]
Akan tetapi jika masa ‘iddahnya telah habis, suami berniat untuk
kembali, maka ia harus memulai dengan akad yang baru serta dengan mahar yang
baru.
2.
Syarat-Syarat
Rujuk
a)
Bekas
suami yang rujuk itu adalah orang yang mukallaf.
b)
Cara
rujuk. Pendapat pertama: rujuk hanyalah dengan perkataan. Pendapat kedua:
rujuk dengan perkataan dan perbuatan
c)
Rujuk
hendaklah disaksikan oleh dua orang saksi.
d)
Dilakukan
oleh bekas suami diwaktu bekas istri menjalankan masa ‘iddahnya. Tidak sah
rujuk yang dilakukan diluar masa ‘iddah.
3.
Talak
Yang Boleh Dirujuki
Para ahli fiqh sepakat bahwa talak
yang dapat dirujuki adalah talak raj’i.
Sepakat pula para ahli fiqh apabila
telah terjadi talak bain sughra, hilanglah hak rujuk suami dan bekas suami
istri diperbolehkan mengadakan akad nikah yang baru di waktu bekas isteri
menjalankan masa ‘iddahnya. [9]
4.
Hikmah
Rujuk
a)
Betaubat
dan menyesali kesalahan-kesalahan yang lalu untuk bertekad memperbaikinya.
b)
Menghindari
murka dan kebencian Allah SWT
c)
Untuk
menjaga keutuhan dan keselamatan keluarga, khususnya masa depan anak-anak.
PENUTUP
Kesimpulan
‘Iddah adalah
perhitungan atau sesuatu yang dihitung. Secara bahasa mengandung pengertian
hari-hari haidh atau hari-hari suci wanita. Sedangkan secara istilah ‘iddah mengandung arti masa menunggu bagi wanita
untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan suaminya, baik
cerai hidup maupun cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya
atau untuk berpikir bagi suami.
Rujuk dalam
pengertian etimologi adalah kembali. Rujuk dalam pengertian terminologi adalah
kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istriyang telah dicerai raj’i,
dan dilaksanakan selama istri masih dalam masa ‘iddah.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika.
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana.
Aziz Dahlan, Abdul. 1996. Ensikopledi
Hukum Islam, jilid II. Jakarta: Ickhtiar Baru Van Hoeve.
Drs. Kamal Muchtar. 1993. Asas-Asas
Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
[1] Abdul
Aziz Dahlan, Ensikopledi Hukum Islam, jilid II, (Jakarta: Ickhtiar Baru
Van Hoeve, 1996), hlm. 637.
[2] Amiur
Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006), hlm. 240.
[3] Ibid.,
hlm. 242.
[4] Mahmud
Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung,
1996), h.139.
[5] Amiur
Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006), hlm. 249-250.
[6] Drs.
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT.
Bulan Bintang, 1993), h. 237.
[7] Prof.
Dr. H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), h. 91.
[8] Amiur
Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006), hlm. 266.
[9] Drs.
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT.
Bulan Bintang, 1993), h. 239.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar